MEMPERTIMBANGKAN (KEMBALI) AKTING

Oleh Sahlan Bahuy

Sulit sekali jika tidak mengatakan bahwa pandangan mengenai wacana akting di kalangan praktisi teater modern kita kurang berkembang. Namun, kenyataan yang mesti diterima adalah produktivitas gagasan mengenai wacana ini tidak sebanding jumlahnya dengan karya-karya yang dipentaskan para praktisi teater.

Beberapa tokoh teater memang telah menyumbang gagasan-gagasan teaternya. Hanya menyebut beberapa saja, diktum-diktumnya barangkali sudah sering kita dengar: Teater Tanpa Masa Silam Arifin C. Noer, menyoal rumusan teater hasil dari pergulatan antara tradisi dan pengaruh-pengaruh Barat yang melingkupinya; Teror Mental Putu Wijaya, tontonan yang menitik beratkan pada dampak atau akibat pada penikmatnya; Kegagahan dalam Kemiskinan W.S Renda, menyoal sikap kesederhanaan menjalani hidup sekaligus menunjukkan kekayaan berpikir dalam berteater.

Di luar gagasan-gagasan besar itu, bisa dibilang belum ada yang spesifik menyoal wacana ihwal akting. Kalau pun ada, buku-buku yang tersebar lebih pada kiat-kiat membangun tokoh, trik-trik melatih teknik aktor dari salahsatu perspektif akting.

Dalam perdebatan wacana akting ini kita seringkali kehilangan panggung. Padahal keragaman bahasa dan wacana akting telah muncul ke permukaan sejak lama. Akting merupakan bagian penting dari kerangka kerja konseptual di setiap konstruksi pertunjukkan teater. Baik pertunjukkan teater yang menyandarkan pada aktor karakter atau pun tidak.

Dari minimnya produktivitas gagasan akting di kalangan praktisi teater kita, sejenak tidak ada salahnya kita menengok ke Barat. Membuka cakrawala pengetahuan. Bukan sekedar untuk jadi konsumen gagasan, melainkan untuk meningkatkan produktivitas berpikir.

Melihat pentingnya memupuk kesadaran kritis dan refleksi dalam mempertimbangan akting, buku Acting (Re) Considered (1995) yang disusun oleh Phillip B. Zarrilli tampaknya patut disimak. Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab pertama, membahas teori dan perenungan atas akting. Bab kedua, mempertimbangkan kembali tubuh dan latihan. Dan bab terakhir, mempertimbangkan kembali aktor dalam pertunjukkan.

Buku ini merangkum esai-esai dari para pakar teater dunia, di antaranya: Paul Allain, Philip Auslander, Eugenio Barba, Susana Bloch, Auguto Boal, Sears A.Eldredge, Kathy Foley, Mel Gordon, Ellen Halperin-Royer, Hollis W.Huston, Adrian Jackson, Ron Jenkins, Michael Kirby, Elly Konijn, Eelka Lampe, Laurie Lassiter, I Wayan Lendra, Lauren Love, Carol Martin, Pedro Orthous, John Rouse, Guy Santibanez-H, Richard Schechner, Deidre Sklar, Bert O.States, Tadashi Suzuki, Phillip B. Zarilli.

Esai-esai dalam Bagian 1 mengajak pembaca untuk mengambil langkah mundur untuk mempertimbangkan setiap teori atau praktek akting tertentu dan mencerminkan hal yang lebih umum. Esai Bern O.States dan Phillip Auslander ihwal metateoretis membantu kita untuk mempertimbangkan (kembali) pertunjukan seniman seperti Sarah Bernhardt dan pekerjaan Stanislavsky, Brecht, Grotowski, dll. Sedangkan Michael Kirby mendorong kita untuk merenungkan bagaimana perbedaan antara “akting” dan “bukan-akting,” dan Konijn memprovokasi kita untuk mempertimbangkan (kembali) hubungan antara akting dan emosi.

Bert O. States dalam esai “The Actor’s Presence: Three Phenomenal Modes ”, menyoal pendekatan teater sebagai “tindak tutur” untuk menjelajahi bagaimana kemungkinan hubungan aktor dengan penonton dapat bergeser selama pertunjukan atau dalam budaya dari waktu ke waktu. States mengeksplorasi tiga “mode pronominal”: self-ekspresif di mana keahlian aktor mendominasi, kolaboratif di mana interaksi langsung aktor/komunikasi dengan penonton mendominasi, dan representasi di mana fungsi aktor sebagai kendaraan pemaknaan mendominasi.

Michael Kirby dalam “Acting and Not-Acting” menggambarkan sebuah kesatuan dari kegiatan non-matrixed, seperti dalam Happenings (tidak akting) dengan karakter akting (akting kompleks). Kirby menganggap “tidak akting” termasuk dalam perluasan pertunjukan “Non-matrixed”, di mana apa yang pemain lakukan di atas panggung tidak memiliki fungsi representasional dalam narasi yang dramatis. Contohnya: Crew panggung Kabuki (Koken). Ia berada di atas panggung, tapi dianggap “tak terlihat” karena mereka hanya membantu pemain atau memindahkan properti. Pemain dalam Happenings melakukan “tugas” sederhana. Kedua jenis kegiatan tadi “tidak melekat dalam matriks pura-pura atau menunjukan karakter, situasi, tempat, dan waktu”. Kesatuan deskriptif Kirby mendorong kita untuk mempertimbangkan dengan hati-hati bagaimana dan apa yang kita definisikan sebagai “akting” dan / atau “bukan akting”.

Dalam “Just Be Your Self”, Philip Auslander memberikan pembacaan dekonstruktif dari teori akting Stanislavsky, Brecht, dan Grotowski dalam hal “metafisika kehadiran” yang terletak di belakang ide-ide umum tentang diri, identitas, dan kehadiran. Auslander menekankan pada batasan metafisika yang telah didasarkan dalam teori akting modern.

Dalam “The Actor’s Emotions Reconsidered”, psikolog Belanda, Elly Konijn meninjau kembali masalah utama emosi dalam teori akting Barat dan praktek yang pertama kali dimunculkan oleh Dennis Diderot dalam pernyataan 1773 tentang paradoks akting (lihat juga Konijn, 2000).

Penelitian Konijn menggiring pada psikologi kognitif kontemporer dengan menyediakan empat model hubungan antara akting dan emosi yang dibedakan antara pribadi, tugas, niat, dan emosi karakter. Catatan Konijn menyediakan model untuk mempertimbangkan berbagai aspek proses aktor dalam kaitannya dengan emosi dan perasaan dalam pelatihan, lokakarya / latihan, serta pertunjukan, sehingga membedakan pengalaman pemula dari yang berpengalaman. Penelitiannya juga memungkinkan kita untuk memahami bagaimana catatan awal Diderot dari paradoks akting menunjuk ke arah interaksi yang kompleks antara pengalaman dan komponen kognitif emosi dalam pertunjukan aktor karakter.

 

IHWAL WACANA AKTING DALAM TEATER*

Oleh Sahlan Bahuy

Seringkali praktisi teater mengabaikan pembicaraan soal akting secara mendalam. Pembicaraan soal akting acapkali meloncat mendahului pemahaman ihwal akting itu sendiri. Kemudian yang terjadi adalah penghakiman yang tergesa, semisal pasca nonton teater dengan entengnya para praktisi berkomentar “aktingnya buruk!”, “masa aktingnya begitu?!”, “harusnya aktingnya begini!”, “aktingnya sampah!” dll. Tanpa perspektif akting yang jelas, mereka berkoar-koar tak berlandas.

Secara harfiah kata akting diadopsi dari Barat. Berasal dari kata acting yang bermakna tindakan, bertindak, atau aksi. Namun, penggunaan kata akting dalam wacana atau konsep pertunjukan maknanya jadi meluas. Banyak bahasa dan wacana akting telah muncul ke permukaan dengan sudut pandang yang beragam. Tidak lagi berkutat dalam pemaknaan harfiah, melainkan berkembang pada konsep atau proses mengkonstruksi suatu akting dalam pertunjukan.

Ironisnya, pembicaraan seputar itu di lingkungan teater kita jarang dilakukan. Seolah-olah kesenjangan dan batas-batas antara satu wacana akting dengan yang lainnya tidak penting untuk dihiraukan. “Toh persoalan akting yang terpenting adalah praktik, bukan teori!” begitu para praktisi kadang berkilah. Lucunya, mereka tanpa sadar sedang menegasi teori sambil membangun “antitesa”nya sendiri tentang kemalasan berpikir.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa akting bukan hanya soal praktik, tetapi juga berhubungan dengan teori, begitu pun sebaliknya. Praktik tidak hanya bicara praktik dan teori tidak hanya untuk teori. Keduanya saling melengkapi dan menjalin hubungan: berlatih teori atau berteori praktik.

Sehingga dalam penciptaan teater, akting bukan melulu soal kemampuan teknik gestur dan mimik, teknik akrobatik tubuh, bukan pula sekedar manipulasi karakter, melainkan soal kekayaan perspektif wacana akting itu sendiri.

Akting dapat terwujud dari pengungkaian praktik sosial budaya. Dengan demikian, akting tidak bisa terpisah dari realitas sehari-hari, sejarah, politik, budaya, atau ekonomi, dll. Akting adalah kinerja mengurai jaringan kompleks dari praktek tertentu. Kerja penguraian ini tentu saja tidak dapat dilakukan secara individual, melainkan melibatkan pelaku lain; dramaturg, sutradara, para penata, aktor, dll harus saling bersinergi.

Bagi aktor yang mampu tampil di pelbagai jenis teater, persepsi aktor dan praktek akting menjadi kompleks. Ada negosiasi intelektual dan psiko-fisiologis. Negosiasi ini terjadi antara diri dan wacana akting tertentu dalam pertunjukkan. Misalnya, aktor yang telah berakting dalam garapan STB (Studiclub Teater Bandung) akan mengalami penyesuaian akting ketika terlibat di garapan Teater Payung Hitam. Seperti diketahui bahwa paradigma akting bagi kedua komunitas itu berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa persepsi akting itu plural dan dinamis.

Praktisi teater yang sekadar mempelajari teori dan praktik akting Stanislavsky tentang ingatan emosi atau physical actions hanya akan mendapatkan pengetahuan dari salahsatu perspektif akting. Berbeda misalnya jika memahami juga gagasan akting Strasberg tentang emosi spontan (spontaneous emption) dan memori afektif (affective memory). Kedua gagasan tersebut hanya mewakili dari sekian banyak gagasan akting. Di sini, yang ingin dikatakan adalah keluasan pengetahuan tentang akting dapat membantu praktisi teater dalam mempertimbangkan kembali wacana akting yang akan dipilihnya.

Sehingga, ketika praktisi teater mempertimbangkan kembali akting terus menerus, maka akan berpotensi memperkaya pemahaman bahwa wacana akting tidak tunggal, tetapi juga berimplikasi pada pemahaman tentang “diri”, masyarakat, ideologi, politik, dll.

Mempertimbangkan kembali akting dapat membantu praktiksi teater mengesampingkan prasangka dan sudut pandang sempit ihwal wacana akting sebagai suatu kebenaran tunggal (satu sistem, wacana, atau praktek). Praktisi teater mesti pro-aktif, memupuk kesadaran kritis tentang akting sebagai sesuatu yang selalu berubah. Tentu saja, pada saat pertunjukan, aktor harus mewujudkan satu pilihan tertentu dari akting, dan itu “mutlak”. “Kemutlakan” yang lain adalah bahwa sejarah dan proses berakting merupakan bagian dari keanekaragaman.

Kesadaran kritis dan refleksi dalam mempertimbangan akting tidak terjadi dalam ruang hampa. Sebuah pertanyaan reflektif bisa diajukan; sudah sejauh mana kita aktif membuat lingkungan yang dapat mendorong penyelidikan kritis dan reflektif, tidak hanya tentang “seni” dalam arti sempit, tetapi juga menyangkut materi dan isu-isu yang tersirat dalam seni yang kita ciptakan? Sehingga, tidak sekadar melatih kemampuan teknik akting pemain tetapi juga memberi pengetahuan pada apa yang mereka latihkan menjelang pentas.

Setiap kali seorang aktor tampil, ia secara implisit menentukan sebuah teori akting – seperangkat konvensi dan gaya yang memandunya dalam pertunjukan; struktur laku, bentuk laku-pilihan laku (karakter, peran, atau urutan adegan seperti di beberapa seni pertunjukan), dan bagaimana hubungannya dengan penonton. Setiap mewujudkan teori dan praktek akting, secara tidak langsung telah menempatkan sekumpulan sejarah, sosial budaya, dan estetika dramaturgi pada suatu perspektif tertentu. Demikian pula teori dan praktek akting tertentu memiliki sejarah dan kontekstualnya masing-masing.

 

* Catatan bacaan dari tulisan Phillip B. Zarrilli dalam buku ACTING (RE) CONSIDERED (1995)

 

Gaok dan Inovasi

poster

Gaok adalah kesenian Majalengka Jawa Barat yang hampir punah. Memasuki tahun 2000-an, Gaok sudah jarang dipentaskan. Masyarakat tak lagi menganggap Gaok sebagai sebuah kesenian yang menghibur. Selain itu, para penutur Gaok sudah mulai berkurang. Para penutur Gaok sudah banyak yang meninggal, sebagian masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi karena faktor usia yang sudah sangat tua, berusia 70 tahun lebih. Di desa Kulur, tempat Gaok berkembang, penuturnya hanya sekitar 3 orang lagi. Menurut Rukmin, sang dalang Gaok, generasi muda sekarang tidak ada yang memiliki keinginan untuk melanjutkan. Selain itu anak muda juga mengaku tidak bisa mempelajari Gaok karena susah.

Gaok adalah seni membaca atau menyanyikan wawacan. Dalam wawacan tersebut banyak nilai-nilai yang dapat diambil pelajaran oleh masyarakat. Wawacan yang dibawakan dalam seni gaok berbentuk pupuh yang berjumlah tujuh belas. Namun yang lebih banyak dinyanyikan adalah Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Wawacan yang sering dibawakan adalah Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Samun, Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung.

Gaok merupakan kesenian partisipatif dan komunal. Pertunjukan rakyat yang komunal. Gaok memiliki ciri khas dalam menyampaikan makna cerita di dalam keseniannya. Dari sini celah untuk menyelamatkan Gaok dari kepunahan menjadi sangat memungkinkan.

Gaok mempunyai sistem tersendiri dari mulai cerita dan cara menyampaikannya. Rukunnya itu dari doa pembuka, gamelan pembuka/tatalu, kalimat pembuka, lagu pembuka, baca cerita, aluk dan bodoran, kalimat penutup dan doa penutup.

Metode partisipatif di dalam Gaok diwujudkan dalam bentuk metode penyampaian makna dari para pemain Gaok yang dibagi menjadi empat peran sebagai berikut.

  1. Tukang Ngilo, berperan membaca wawacan syair demi syair dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas,
  2. Tukang Ngajual, berperan untuk mengulang syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngilo,
  3. Tukang Meuli, berperan untuk melanjutkan syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngajual dengan tambahan ornamen-ornamen,
  4. Tukang Naekeun, berperan untuk melanjutkan syair Wawacan yang dibacakan oleh Tukang Meuli, dengan improvisasi suara melengking dan meliuk-liuk disertai dengan ornamentasi yang lengkap, sehingga artikulasi syair yang disajikan Tukang Meuli agar terdengar sayup sayup.

Metode tersebut bersifat repetitif dan improve. Metode itu akan diterapkan pada penonton, sehingga penonton bukan lagi sebagai ‘audience’ yang memiliki jarak dengan pementasan, melainkan menjadi ‘listener’ yang terlibat dalam pementasan. Penonton akan ditransformasi menjadi penonton aktif; menjadi pemusik, terlibat sebagai pembangun peristiwa, serta berperan memperkuat konstruksi artistik.

Tantangannya terkait inovasi di dalam teater adalah bagaimana metode ngilo, ngajual, meuli, naekeun itu menjadi metode partisipatif penonton dalam pementasan.

Pementasan ini nantinya akan dikembangkan secara bentuk dan metode dari cerita wawacan Simbar Kancana Ngadeg Raja: Fragmen Talaga Manggung (1999). Selain menembangkan cerita, visual gerak akan ditampilkan untuk mendukung pergelaran ini. Visual gerak hadir untuk menciptakan imaji peristiwa yang ditembangkan. Ruang penonton akan menjadi bagian dari konstruksi artistik sehingga ruang panggung dan ruang penonton menjadi kesatuan ruang peristiwa. Tujuan yang ingin dicapai dari pergelaran ini adalah terciptanya penyampaian cerita secara langsung, tubuh mengalami, dan partisipatif.

Pementasan ini berupaya untuk memperkenalkan Gaok kepada masyarakat Jawa Barat dan mengaktualisasikan kembali fungsinya sebagai kesenian yang partisipatif. Metode peran berupa Ngilo, Ngajual, Meuli, dan Naekeun yang menempatkan pemain dan penonton sebagai unsur pembangun pementasan, memungkinkan kesenian ini menjadi mudah dipahami. Teater sebagai sebuah bingkai dapat menciptakan transmisi dan transformasi kesenian Gaok pada masyarakat.

Tentang Jalan Teater

Jalan Teater didirikan 11 November 2011. Lahir dari keriangan dan kegandrungan kami terhadap dunia seni teater. Apresiasi dan antusiasme yang tinggi terhadap dunia teater membuat kami senantiasa ingin memahami sedalam-dalamnya makna di balik seni teater. Sebab, kami memandang teater bukan sekadar sebuah seni pertunjukan. Namun, ia adalah ilmu pengatahuan sekaligus sarana untuk berekspresi.

Sebagai ilmu pengetahuan, kami sadar bahwa seni teater terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan itu membuat kami terpacu untuk selalu melakukan riset dan aktualisasi mengenai setiap wacana yang muncul dalam khazanah teater, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Sebagai sarana untuk berekspresi, seni teater tentu saja memberikan keleluasan bagi kami untuk memantulkan gejala-gejala, fenomena-fenomena, dan nilai-nilai dalam kehidupan. Secara teater, selain memantulkan kembali kehidupan, kami juga berupaya untuk memberikan sentuhan intelektual dan artistik pada setiap pementasan.

 

Begitu pula kami berharap dapat menempuh jalan panjang teater, mereguk sebanyak-banyaknya ilmu teater sehingga mampu mengaplikasikannya dalam pementasan dengan segala kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam hal ini bermakna bukan menggurui, melainkan kebijaksanaan memandang kehidupan sebagai sumber inspirasi yang sangat kaya untuk diintrepretasi.

Tentang Titimangsa

Adalah sebuah lembaga budaya yang dibentuk Happy Salma pada tahun 2006. Dalam perjalanannya. Titimangsa Foundation telah melakukan berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan, yaitu diantaranya :

  • Pentas teater Ronggeng Dukuh Paruk yang diadaptasi dari “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari yang dipentaskan di Amsterdam, Bern Swiss dan Taman Ismail Marzuki (2009).
  • Mementaskan Monolog Inggit Karya Penulis Naskah Ahda Imran, Sutradara Wawan Sofwan diadaptasi dari novel Ramadhan KH “Kuantar Ku ke Pintu Gerbang” di Bandung dan Jakarta pada 2011 – 2013.
  • Memproduksi film pendek “Kamis Ke 300” yang merupakan satu apresiasi untuk para pejuang HAM dan akan diputar untuk pertama kali pada tanggal 17 Januari 2014 di Goethe-Institut Jakarta.
  • Memproduksi pementasan “Wayang Orang Rock Ekalaya” yang merupakan gabungan dari teater dan konser music rock pada tanggal 15 Maret 2014 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta.

 

TIM PRODUKSI

Pimpinan Produksi     : Yopi Setia Umbara & Happy Salma

Sekretaris Produksi    : Pradetya Novitri & Maudy

Bendahara                  : Surya Dwi S

 

TIM ARTISTIK

Sutradara                    : Sahlan Mujtaba

Dalang                         : Abah Rukmin & Firman

Penasehat Literatur   : Zulfa Nasrulloh & Arif Abdillah

Stage Manager           : Heliana Sinaga

Ass. Stage Manager    : Dwi Arianto Arnando

Penata Artistik          : Ganjar Sukanda

Penata Musik             : Triya Nugraha & Sidiq

Pemusik                      : Noni Mulya, Dienal, Idham Fadhil, Riyan Triana

Penata Cahaya           : Aji Sangiaji

Pemain                        : Chandra Kudapawana, Indrawan Setiadi, Fuad Jauharudin, Cikal Gilang R, Canaya, Kamal, Hendrawan, Yumi

Penata Gerak              : Asep Cilok & Indra

Penari                         : Ashry Kus F, Tazkia, Hariny, Nia Sonia, R. Angga GS

Interaksi Tradisi Lisan Gaok dan Teater Kontemporer

poster

CATATAN SUTRADARA

Karya inovatif ini berjudul “Simbar Kencana Ngadeg Raja”. Sebuah pertunjukan yang menginteraksikan tradisi lisan Gaok dengan teater kontemporer.

Sifat interaksi adalah saling melakukan aksi. Hadirnya beriringan. Wujudnya bisa saling berhubungan bisa tidak, bisa saling memengaruhi juga bisa tidak. Hal-hal yang dualistik ada kalanya tetap berdiri sendiri, keduanya bisa diakui keberadaanya secara bersamaan. Secara substansial berupaya tidak saling mereduksi satu sama lain. Melainkan, saling menguatkan atau menawarkan ruang ekspansi pemaknaan. Ada kalanya, dalam beberapa peristiwa, hal-hal yang dualistik (tradisi & modern) melebur menjadi entitas baru.

Berdasar pada pemikiran Prof. Jakob Sumardjo ikhwal elaborasi seni tradisi dengan seni modern; menghadirkan kontradiksi antara seni Gaok (tradisi) dan Teater (modern) bisa beragam cara. Setidaknya, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, sepenuhnya dengan cara berpikir modern. Kedua, dengan cara berpikir primordial yang paradoks.

Cara pertama menggunakan logika Aristotelian. Menolak adanya kemungkinan ketiga dari suatu kontradiksi yang menjadi dasar berpikir modern. Dualisme kebenaran yang saling bertentangan harus diambil tunggal dari salahsatunya.

Sedangkan cara kedua, merupakan cara berpikir primordial yang paradoks. Yang tradisional dan modern tetap diakui keberadaannya juga kebenarannya. Tidak ada yang diunggulkan, tidak ada yang dikalahkan, tidak ada yang dimenangkan, tidak ada yang ditolak.

Berdasarkan pemahaman itu, saya lebih memilih cara yang kedua. Melakukan upaya transformasi sekaligus menyertakan hipogramnya. Dalam proses penciptaan karya ini, seni Gaok (tradisi) dan teater kontemporer (modern), berpotensi memunculkan kreasi baru (kemungkinan ketiga, yaitu paradoks). Entitas baru yang paradoksal itu, modern-tradisional atau tradisional-modern; sakral yang profan atau profan yang sakral, keduanya hadir beriringan.

Bertolak dari sana, saya ingin menawarkan konsep pertunjukan yang di dalamnya terdiri dari hipogram berikut transformasinya. Keduanya hadir beriringan. Hipogramnya adalah seni tradisi gaok yang terdiri dari teks (wawacan), konteks (ritual: syukuran, hajatan, ruwatan) dan koteksnya (nembang: auditif, partisipatif). Sedangkan transformasinya adalah teater kontemporer yang terdiri dari teks (laku peristiwa, verbal/non verbal tubuh), konteks (relasi cerita dengan situasi kekinian: simpati, refleksi, argumentasi, negasi), koteks (audio dan visual: empati, alienasi, partisipatif).

Dalam pementasan ini, berharap seni tradisi tidak sepenuhnya tercerabut dari akarnya. Melainkan, seni tradisi akan dibiarkan tumbuh sambil menerima bentuk-bentuk seni pertunjukan modern.

SINOPSIS

Naskah wawacan Simbar Kancana Ngadeg Raja: Fragmen Talaga Manggung (1999), mengisahkan peristiwa kerajaan Talaga Manggung yang mulanya damai dan sejahtera harus mengalami kekisruhan. Kerajaan Talaga Manggung ini adalah salahsatu kerajaan yang menjadi cikal bakal kabupaten Majalengka. Kerajaan Talaga Manggung (Kerajaan di bawah Galuh) dipimpin oleh seorang Raja yang tersohor. Ia memiliki dua orang anak yaitu Raden Panglurah dan Putri Simbar Kancana.

Cerita bermula dari adegan sayembara adu sakti yang ditujukan untuk mencari pasangannya Simbar Kancana. Pemenangnya adalah Palembang Gunung. Setelah menikah, Palembang Gunung berkhianat, ia melakukan upaya pembunuhan terhadap Raja Talaga Manggung melalui Centang Barang seorang penjaga benda pusaka kerajaan. Centang Barang yang sudah termakan bujuk rayupun membunuh Raja dengan senjata bernama “Cis”, senjata pusaka Raja.

Kejadian tersebut membuat kerajaan bersedih. Palembang Gunung mengumumkan bahwa yang membunuh Raja adalah Centang Barang.  Centang Barang pun lari ketika dirinya hendak ditangkap. Tak lama kemudian misteri yang sebenarnya terungkap, bahwa otak pembunuhan adalah Palembang Gunung. Akhirnya Simbar Kancana bersiasat untuk menjebak Palembang Gunung. Jebakan itu berhasil, dibunuhlah Palembang Gunung oleh Simbar Kancana. Simbar Kancana pun memimpin kerajaan dan menikah lagi dengan pejabat kerajaan Galuh, seorang pangeran yang menolong Simbar Kancana ketika menangkap Centang Barang.

Menjaring Bulan: Eksplorasi Penciptaan Site-Spesifik Performance

Foto: Firman Venayaksa

Foto: Firman Venayaksa

Oleh Sahlan Bahuy

Menonton seni pertunjukan  bagi saya selalu memberikan pengalaman baru. Terutama jika pertunjukan tersebut menawarkan eksplorasi dan eksperimen dalam penciptaan karyanya. Seringkali banyak ide-ide dan imajinasi tak terduga yang bisa direnungi kembali. Itu pula yang terjadi ketika menonton pertunjukan Menjaring Bulan bergenresite-spesifik di NuArt Sculpture Park, Bandung (28/7/2015).

Menjaring Bulan merupakan sebuah karya kolaborasi seniman-seniman muda hasil workshop intensif selama lima hari yang digagas oleh Bengkel Tari Ayu Bulan. Sebanyak 26 seniman pertunjukan mewakili 12 kota di Indonesia serta 3 negara ASEAN, telah terpilih mengikuti program bertajuk Sasikirana Dance Camp ini.

Sejumlah mentor yang mumpuni dari latar belakang seni tari, seni rupa pertunjukan, dan teater turut andil membekali materi, konsep, dan referensi terkait pertunjukan bergenre site-spesifik performance ini. Mereka di antaranya: Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Melati Suryadarmo dan Wawan Sofwan.

Pertunjukan ini digelar di ruang terbuka. Koridor, taman, ampiteater, dan instalasi-instalasi menjadi ruang pertunjukan. Sejumlah situs coba dibaca oleh pemain dengan wacana maupun sejarah yang terkait dengan situs itu; ada yang menyatakan, merayakan, mengacaukan, mengkritik lokasi, fungsi sejarah dan arsitektur. Sehingga karakteristik arsitektur tidak lagi menampilkan dirinya, melainkan ada konotasi baru yang hadir di sana.

Setiap pemain berusaha menampilkan tontonan yang menitikberatkan pada eksplorasi dan eksperimen, terutama dalam pengolahan situs lewat kerja koreografi. Situs serta koreografi pemain bersaing menarik perhatian penonton, sehingga semua yang terjadi berpotensi bermakna. Penonton pun diajak bergerak dari satu situs ke situs lain.

Dimulai di sebuah situs koridor. Tampak seorang perempuan bergaun gelap menjuntai sebatas paha, berdiri dengan wajah datar. Di sekitar kakinya, tergeletak cermin seukuran jendela. Gesturnya bergerak perlahan, seperti memendam gejolak perasaan. Pada momen tertentu cerminnya retak terinjak. Tatapannya tajam tertuju pada cermin itu.

Berlanjut ke situs koridor bagian atas, perempuan lain disorot cahaya. Rentetan lampu gantung mencipta suasana berbeda. Tidak murung seperti sebelumnya. Gerak-gerik tubuhnya lebih terbuka, penguasaan ruang pun lebih leluasa. Ketika ia berjalan menuju ujung koridor, menyeruak bunyi koak-koak. Kesadaran penonton terhentak. Seketika gerombolan muncul dengan bermacam-macam ikonis gestur binatang. Mereka bergerak cepat, menuju ruang lain.

Rupanya, selain mencipta peristiwa. Gerombolan binatang ini berfungsi untuk menggiring penonton ke situs lain. Strategi instruksi pada penonton itu cukup cerdik. Penonton bergerak secara organik, dituntun oleh peristiwa, bukan instruksi verbal. Ketika peristiwa mampu berkomunikasi dengan sublim, instruksi didaktis dari pertunjukan menjadi bersifat laten. Sehingga tanpa disadari, penonton berhasil ‘didisiplinkan’. Dalam hal ini, sebenarnya peristiwa bisa menguasai penonton secara penuh.

Namun, strategi serupa itu tidak cukup konsisten. Di beberapa bagian, penonton banyak dikontrol oleh elemen di luar peristiwa. Penonton banyak dibatasi ruang geraknya oleh para kru yang bersiaga. Sehingga penonton tidak leluasa memilih sudut pandang yang diinginkan.

Alur peristiwa terus bergerak, kini menuju situs ampiteater. Di sana, terdengar musik yang mencerminkan rasa budaya suatu masyarakat. Bunyi auditifnya cukup akrab, menuntun pada kesadaran geografis. Di panggung berbentuk lingkaran, tampak perempuan menari Saman. Di bibir panggung, seorang laki-laki mengintai dan mendekati dengan koreografi modern. Musik berubah. Nuansa tradisi dan modern berbaur.

Bersamaan dengan itu, di ruang lain. Tampak lelaki menari salsa lengkap dengan kostumnya. Namun ada yang berbeda, kali ini tarian salsa menggunakan properti golok di tangan kanan dan kirinya. Gerakan salsa yang berkonotasi lembut dibenturkan dengan penanda kekerasan.

Benturan dualistik kultural dalam beberapa peristiwa sangat terasa. Benturan suasana, bentuk ungkap, wacana, budaya, dan penggunaan simbol-simbol ditampilkan dengan beragam cara.

Pengolahan situs berakhir di instalasi bambu karya Joko Dwi Avianto. Instalasi tersebut menyembulkan imaji bulan sabit, dalam sudut tertentu seperti keranjang besar. Situs dan koreografi berinteraksi dengan intensitas tinggi lewat komposisi individu maupun grouping. Interaksi di antara keduanya mengafirmasi bahwa sebenarnya seni rupa dan tari bisa saling bersinergi. Saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain.

Beberapa peristiwa di atas hanya bagian kecil dari seluruh pertunjukan. Masih banyak peristiwa lain yang hadir. Berceceran di mana-mana. Cenderung berdiri sendiri. Seolah tidak membangun kesatuan yang utuh antar peristiwa.

Penciptaan site-spesifik performance merupakan eksplorasi mendalam dari sebuah situs agar penonton bisa turut memahami dan menafsirkan situs tersebut dengan konotasi baru. Saya berharap bisa mendapat imaji dan fokus kuat dari semua rangkaian peristiwa. Tetapi larangan penonton untuk bergerak leluasa membiaskan tujuan pertunjukan, kecuali hanya menunjukan pengekangan.

Pengekangan terhadap ruang penonton dapat mengganggu dalam menangkap keutuhan hubungan asosiasi, imajinasi atau aktualisasi pemain atas situs yang dijadikan ruang peristiwa. Serba dibatasi. Penonton, setidaknya saya, kesulitan menjadi arkeolog situs dan peristiwa yang berlangsung.

Sebagai sebuah eksplorasi. Pertunjukan Menjaring Bulan sudah berupaya mengaktifkan atau melibatkan narasi situs. Meskipun belum bergerak jauh. Misalnya, memikirkan strategi bagaimana caranya mengaktifkan penonton berinteraksi dengan situs dan peristiwa yang tersaji. Sehingga tidak terjebak pada umumnya pertunjukan di dalam auditorium yang cenderung pasif.

Ruang atau situs tidak hanya cukup dikepung atau dijarah secara eksotis dengan bangunan peristiwa yang khas. Jika peristiwa hanya sekedar pamer akrobatik koreografi, maka kemungkinan situs tersebut hanya menjadi topeng. Pertunjukan bisa terseret pada sebuah ajang penjajahan situs oleh paket estetika tertentu.

Penciptaan site-spesifik performance memang menuntut kerja yang kompleks. Ini tahap yang tepat bagi seniman-seniman muda dalam mengeksplorasi hubungan antara unsur-unsur seni dengan wacana, budaya dan sejarah yang terkadang diabaikan. Saya kira ini patut diapresiasi. []

EMPAT EVALUASI UNTUK GURUNYA SITI

Oleh Sahlan Bahuy

“Tanggal berapa sidang BPUPKI dilaksanakan?”

Itulah salah satu pertanyaan yang muncul di lembar ujian akhir tahun pelajaran IPS kelas 5 SD di Sukabumi. Keponakan saya, Siti, belajar di sekolah tersebut. Gara-gara tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sepulang sekolah, ia frustrasi, menangis, marah, sedih, kesal, dan kecewa pada dirinya sendiri. Seharian ia mengurung diri di dalam kamar, sampai-sampai enggan makan.

Ekspresi di atas muncul karena ia merasa sudah belajar maksimal, tapi ternyata apa yang dipelajarinya selama ini tidak ada dalam soal ujian. Parahnya, ia merasa gagal. Kebencian terhadap pelajaran IPS pun tak terelakan. Ia selalu mendapatkan nilai terendah untuk pelajaran IPS. Semester lalu hanya mendapatkan nilai 6. Ia menilai pelajaran IPS terlalu menuntut hapalan.

Mendengar curhatan ibunya itu, saya sempat tertegun sambil diam-diam si tangan mencari informasi lewat handphone, menanyakan langsung pada Mbah Google. Ada perasaan gengsi jika tidak tahu kapan sidang BPUPKI. Sebagai mantan penghuni kelas IPS yang lulus EBTANAS (kini UN) meyakinkan, terlebih sebagai alumni mahasiswa jurusan sastra -notabene ilmu sosial- yang telah menempuh studi secara maksimal (7 tahun) seharusnya mengetahui peristiwa penting itu.

Paparan di atas, menjelaskan dua sikap yang berbeda dalam menghadapi ketidaktahuan data sejarah. Sikap pertama, kecewa dan merasa bersalah. Sedangkan yang kedua tampak biasa saja. Sikap kedua anggap saja contoh yang buruk, jadi tidak perlu ditiru.

Saya ingin menyoroti efek pertanyaan dalam soal ujian itu terhadap psikologi anak. Kenapa Siti sampai sebegitu menderitanya ketika tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Apakah karena nasionalisme yang tinggi sehingga Siti begitu menyesal ketika tidak tahu pelaksanaan sidang bersejarah yang menjadi cikal bakal terbentuknya dasar negara bangsa ini? Tentu saja ini lelucon, toh Siti langsung membenci pelajaran IPS.

Lalu, apa masalah yang terjadi? Setidaknya ada empat persoalan yang akan saya bahas:, mental belajar, orientasi nilai, momentum ujian dan kemampuan pedagogi pendidiknya. Keempat persoalan tersebut berkaitan dengan kinerja pendidik sebagai penanggung jawab kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Efek psikologis yang menimpa Siti menandakan bahwa ada permasalahan dalam proses belajar di sekolah. Seperti ada tekanan atau sesuatu yang tidak nyaman dalam proses belajar. Jika melihat usaha Siti menjelang ujian, ia telah belajar secara maksimal. Ia telah mempelajari sesuatu hal. Masalah muncul ketika yang dipelajari tidak ada dalam soal ujian. Dan yang menyedihkan, ia menganggap dirinya gagal. Loh, kok gagal? Bukankah ia sudah mempelajari suatu hal? Kenapa pula harus merasa gagal?

Dalam proses belajar, ketangguhan pikiran dan mental sangat dibutuhkan. Selain merangsang kecerdasan berpikir, seorang pendidik juga harus menumbuhkan ketahanan mental siswanya. Kekuatan keduanya sangat penting dalam mengawal perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku siswanya.

Seandainya pendidik mengetahui apa yang terjadi pada Siti pasca ujian, maka tugas berikutnya ialah mengoptimalkan pengajaran dalam menyikapi kegagalan. Siswa harus diberi kesadaran bahwa kegagalan bukanlah akhir dari perjuangan yang harus diratapi berlebihan. Kegagalan bukanlah penderitaan melainkan kebahagiaan dalam mengawali perjalanan menuju keberhasilan. Seperti halnya Thomas Edison yang telah mengalami ribuan kegagalan dalam melakukan eksperimen untuk menyempurnakan bola lampunya. Ia sendiri beranggapan, bahwa ia tidak pernah melakukan kegagalan melainkan hanya menemukan ribuan hal yang tidak berhasil.

Selain persoalan mental, ada semacam gejala siswa pada orientasi mendapatkan nilai semata. Sedangkan manfaat pengetahuan berada di urutan ke sekian. Siswa belajar hanya untuk meraih nilai tinggi bukan untuk merasakan faedah pengetahuan yang dipelajari. Alhasil, ilmu pengetahuan menguap di lembar jawaban.

Gejala di atas sedikit banyak dipengaruhi oleh sistem penilaian yang dianut pendidiknya. Lazimnya, di sekolah, para pendidik memberikan penilaian kuantitatif (angka) pada siswanya. Angka yang tinggi pertanda siswa yang pintar, begitu sebaliknya. Angka dianggap valid untuk mengukur kemampuan pengetahuan siswa, seolah hal tersebut dapat dibuktikan secara empiris.

Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan pendidik dalam melakukan penilaian. Salahsatu alternatifnya adalah sistem penilaian secara kualitatif. Penilaian ini berwujud naratif dan deskriptif. Menekankan analisis dari pendidiknya. Penilaian ini tidak sekedar berfungsi untuk mengukur kemampuan siswa, tetapi memberi informasi kebutuhan pembelajaran siswanya. Sistem penilain ini lebih evaluatif dan reflektif, selain untuk siswa juga pendidiknya. Pendidik bisa mengetahui kemajuan dan kesulitan belajar siswa, kemudian melakukan perbaikan kegiatan pembelajaran.

Jika di sekolah ada sistem penilaian, berarti ada aspek penilaian. Ada 3 aspek yang biasa jadi rujukan: kognitif, afektif, psikomotorik. Ketiga aspek itu sejauh ini dianggap komprehensif. Kemampuan intelektual (kognitif) bukan syarat tunggal keberhasilan proses belajar. Kepekaan perasaan (afektif) dan keterampilan berkarya (psikomotorik) turut melengkapi domain penilaian. Selain memahami mata pelajaran, siswa juga perlu menghayatinya dan melakukannya dengan tindakan dalam kehidupan.

Para pendidik bisa berefleksi sejauh mana telah menerapkan kriteria tersebut di sekolah. Siswa tidak boleh dibebani oleh satu aspek dan satu momen belajar. Menumbuhkan kesadaran pada siswa atas pentingnya ketiga aspek itu juga perlu. Jika Siti menyadari bahwa ukuran keberhasilan belajar bukan sekedar pandai menjawab soal ujian (kognitif), ia akan menerima dengan lapang dada (afektif) jika yang ia pelajari tidak ada di soal ujian. Toh, ia sudah mempelajari pengetahuan yang lain dan tinggal mengaplikasikanya dalam kehidupan nyata.

Proses penilaian menjadi carut-marut, ketika ujian seringkali ditempatkan sebagai momentum puncak dalam proses belajar. Imbasnya, tidak jarang ritual-ritual aneh pun digelar: ziarah ke makam keramat untuk mencari berkah agar lancar ujian, zikir dan istighosah memohon dimudahkan dalam menyelesaikan ujian, mengundang motivator dan psikolog untuk mempersiapkan mental dan semangat menjelang ujian, ada juga yang tiba-tiba dermawan memberi sembako pada warga yang tidak mampu sambil berharap amal baiknya bisa mengantarkan siswa sukses di masa depan.

Fenomena ritual aneh itu menegaskan bahwa penilaian seringkali menyandarkan pada satu momentum, sedangkan proses menuju momentum itu seringkali luput dari pengamatan. Jika paradigma ujian masih demikian, maka para pendidik harus segera berbenah diri.

Persoalan terakhir yang ingin dibahas ialah kemampuan pedagogi para pendidik. Para pendidik mungkin telah memiliki kesadaran bahwa mempelajari sejarah mengandung banyak manfaat. Pelajaran sejarah di sekolah dianggap penting karena bisa menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Barangkali kita semua sudah pernah mendengar beberapa kutipan populer ihwal pentingnya sejarah. Ada yang beranggapan bahwa sejarah adalah teladan bagi kehidupan manusia, karena sejarah mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. Sedang bangsa Romawi Kuno pernah mengungkapkan Historia vitae magistra, yang berarti “Sejarah merupakan guru bagi kehidupan”. Filsuf Cina, Kong Fu-Tse mengatakan bahwa “Sejarah mendidik kita untuk senantiasa bertindak dan berprilaku dengan bijaksana”. Sejarawan dari Belanda, Prof. Wertheim mengatakan “History is a continuity and change”. Sejarah memberikan kesadaran waktu bahwa keadaan senantiasa berubah. Sedangkan Arnold Toynbee, sejarawan dari Inggris mengatakan bahwa “To study history is to built history”, belajar sejarah berarti membangun sejarah.

Semua ungkapan di atas rupanya telah membebani pelajaran sejarah menjadi pelajaran yang terlalu menuntut banyak harapan. Sama sekali tidak ada ungkapan yang menunjukan kesadaran bahwa mempelajari sejarah dapat menyebabkan kesedihan, kekecewaan, mogok makan dan mengurung diri di kamar. Padahal ungkapan yang terakhir pada kasus Siti konkret terjadi.

Kesadaran pendidik akan pentingnya manfaat sejarah ternyata belumlah cukup. Pendidik juga harus memiliki kemampuan pedagogi yang cerdas dan kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran di sekolah, termasuk strategi dalam mengevaluasi kegiatan belajar siswanya.

Penderitaan psikologis terhadap anak pasca ujian seperti yang terjadi pada Siti semestinya bisa dihindari. Proses belajar bagi anak-anak mesti disusun menjadi sesuatu yang menyenangkan bukan menyeramkan. Ilmu pengetahuan itu anugerah bukan bencana yang dapat mendatangkan malapetaka.

Mengenai hal itu, ada pendapat reflektif dari Andy Sutiyoso, pimpinan Rumah Belajar Semi Palar. Menurutnya, pendidik mestinya berpikir apa makna pertanyaan buat anak (dalam konteks ini adalah ujian). Kenapa anak diharuskan hafal fakta itu dan kalau tidak hafal mereka gagal. Kalaupun tidak hafal, apakah fatal buat mereka?

Menurutnya, inilah problem besar pendidikan Indonesia. Anak-anak diajari segala macam hal sebanyak-banyaknya dengan pemikiran “siapa tahu” bermanfaat. Kemungkinan lain yang seringkali memicu persoalan pendidikan negeri ini ialah karena pendidiknya belum memahami secara komprehensif hakikat pembelajaran ilmu pengetahuan sosial.

Konsep-konsep Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi yang terangkum dalam pelajaran IPS di sekolah dasar mestinya bukan pelajaran yang sekedar menuntut hapalan. Pelajaran IPS mestinya menjadi bahan kajian terpadu yang telah disederhanakan, dimodifikasi dan dikreasi oleh pendidiknya menjadi pelajaran yang berorientasi pada pengembangan keterampilan berdasarkan konsep yang dipahaminya sehingga ilmu pengetahuan lebih aplikatif.

Proses belajar mungkin akan berbeda jika pendidik menyampaikan materi pelajaran dengan bermain, misalnya: mengajak anak bermain peran (drama/teater). Pendidik bisa membuat naskah drama/plot peristiwa tentang sidang BPUPKI, lalu muridnya berperan menjadi tokoh-tokoh dalam sidang itu. Dengan metode itu, selain bermain peran mereka juga sebenarnya sedang belajar sejarah.

Dengan metode serupa itu, bukan sesuatu yang mustahil jika seorang siswa dapat memahami pelajaran IPS dengan metode bernyanyi, bermain kelereng, bermain petak umpet, membuat kue, memasak, menggambar, menanam pohon, membersihkan pekarangan, atau apapun yang menyenangkan bagi siswanya. Selain aplikatif, proses belajar dan kenyamanan psikologis saling bersinergi menjadi pengetahuan yang bermakna bagi siswa dalam kehidupannya.

Adanya mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar memang diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep dasar ilmu sosial dan humaniora. Namun pengetahuan tersebut jangan sampai terjebak pada hapalan, karena menghapal merupakan cara bernalar paling rendah yang berpotensi mengikis kepekaan dan kesadaran siswanya terhadap masalah sosial yang terjadi di lingkungannya.

Sebelum mengakhiri, ada yang harus kita sadari bahwa tugas mendidik anak bukan sekedar tanggung jawab sekolah dan pendidiknya. Peranan orang tua dan keluarga punya andil,  di antaranya menciptakan ruang kondusif dalam belajar di rumah serta cerdik mengawasi aktivitas anak di lingkungannya.

“Lalu tanggal berapa sidang BPUPKI dilaksanakan, Om?”

Terima kasih atas perhatiannya, wassalamualaikum wr.wb.

“Bertukar Tangkap Dengan Lepas”, Pertemuan ke Sekian Dengan Teater Garasi

“Bertukar Tangkap Dengan Lepas”, Pertemuan ke Sekian Dengan Teater Garasi

Oleh Sahlan Bahuy

Perkenalan saya dengan Teater Garasi berawal dari informasi kelisanan, bukan dari keberaksaraan. Dari obrolan-obrolan handai tolan, bukan dari pustaka bacaan. Dari mulut ke telinga, bukan dari kata yang dibekukan lewat tulisan. Alih-alih analitis, rupanya informasi kelisanan itu lebih agregatif sehingga cukup ampuh mengendap dalam ingatan. Beberapa informasi ihwal Garasi pun tersimpan dalam memori.

Informasi kelisanan mengenai Teater Garasi bertambah ketika saya menyaksikan pertunjukan monolog “Lelaki itu Mengaku sebagai Jamal” yang digelar di Gedung PKM UPI (2007). Konon teks monolog itu merupakan abstraksi dari riset dan survey ihwal biografi aktornya sendiri yang bernama Jamaluddin Latif. Pertunjukan itu masih saya ingat, terutama insiden menarik di hari terakhir pementasan, yaitu terjadi insiden mati lampu di saat pertunjukan tengah berlangsung. Dalam keadaan gelap, pertunjukan sempat terhenti beberapa saat. Jamal pun akhirnya berinisiatif memberi tahu penonton bahwa pertunjukan masih panjang. Jamal kemudian memberi opsi pada penonton; pertunjukan diakhiri atau dilanjutkan walau dalam keadaan gelap. Penonton yang memenuhi gedung seketika menyahut “Lanjuuuuttt!”. Dengan spontanitas layar handphone para penonton dinyalakan untuk membantu penerangan.

Peristiwa itu sungguh di luar dugaan, insiden mati lampu yang tidak diharapkan ternyata direspons positif oleh penontonnya. Selama Johan Didik (Stage Manager Garasi) dan anggota Teater Lakon UPI sibuk mencari petugas gedung dan pusat aliran listrik, pertunjukan terus berlangsung dengan khidmat. Ada semacam chemistry yang tumbuh antara tontonan dan penontonnya. Tanpa spektakel akrobatik, monolog “Lelaki itu Mengaku sebagai Jamal” seperti menyajikan tontonan yang menawarkan heightened experience bagi penontonnya sehingga mereka tidak ingin beranjak dari kursi duduknya. Menjelang akhir pertunjukan, lampu pun menyala. Sesaat kemudian lampu mati kembali menandakan pertunjukan telah usai. Riuh tepuk tangan penonton pun bergema mengisi ruangan.

Selain peristiwa extra-ordinary itu, proses mereka menuju pentas mengenalkan pada saya suatu pengetahuan tentang kelompok Teater Garasi dengan rujukan yang lebih dekat. Suatu perkenalan tanpa menawarkan kategori-kategori analitis rumit, tanpa ada jarak dari pengalaman nyata.

Informasi kelisanan itu tidak dimaknai hanya bersumber dari ucapan lisan saja, melainkan pencerapan dari performance-nya secara langsung. Pertemuan saya dengan peristiwa monolog yang dipentaskan di PKM itu termasuk ke dalam informasi kelisanan yang dimaksud. Menjelang dan selepas pentas, saya bisa berinteraksi langsung dengan semua awak panggung. Saya bisa melihat seorang aktor berinisiatif mempersiapkan dirinya dengan mengolah tubuhnya sendiri, sambil sesekali menggali ingatan emosi yang terkandung dalam teks pertunjukan. Lalu seseorang tampak fokus mengamati aktor latihan sambil mencari-cari celah untuk dijadikan bahan evaluasi. Tampak dua orang hilir-mudik mengkonstruksi panggung dan ruang penonton. Di sudut lain, seseorang tampak sigap memasang lampu di dalam gedung yang tidak memiliki rigging untuk mengaitkan sesuatu yang berat. Maklum, pementasan berlangsung bukan di gedung pertunjukan tapi di gedung yang lebih cocok digunakan untuk acara ‘kebudayaan yang lain’, maksudnya adalah acara resepsi pernikahan. Inisiatif pra-laku, kehangatan diskusi, kegesitan kinerja yang efisien, memberi kesan pada sebuah manajemen operasional yang optimal.

Walau hanya sepintas, pengetahuan ihwal teater dan berteater khas Teater Garasi bertambah. Pengamatan pada istilah teater dan berteater tentunya tidak sepenuhnya sama. Yang pertama menitikberatkan pada unsur-unsur teater dan makna yang ada di baliknya sedangkan istilah yang kedua menitikberatkan pada prosesnya.

Dalam buku “Bertukar Tangkap Dengan Lepas: Sesilangan & Lintasan 20 Tahun Teater Garasi”, terangkum tulisan-tulisan ihwal teater dan berteater khas Teater Garasi. Membaca buku itu bagi saya merupakan ‘pertemuan’ ke sekian. Pertemuan kali ini terasa berbeda karena dimediasi oleh informasi ‘keberaksaraan’, bukan lagi kelisanan. Lewat tulisan, saya diajak bergerak menjelajahi pada proses penciptaan dan karya-karya Teater Garasi lebih jauh. Perkenalan kali ini saya kira lebih seru, walau sedikit rumit. Kenikmatan perkenalan ini ialah karena teks dalam buku tersebut lebih membebaskan pikiran dari tugas-tugas pengawetan (mengingat) untuk beralih pada perenungan baru.

Teater Garasi lahir di lingkungan kampus yang berlatar belakang akademi non-seni. Namun itu bukanlah hambatan bagi semua proses kreatif berteaternya. Justru faktor itulah yang memberikan banyak peluang bagi mereka -tanpa dibebani latar akademik seni- untuk melahirkan gagasan-gagasan teater secara luas tanpa disekat oleh dikotomi atau terjerembab pada suatu terminologi apapun. Meski pada tahap tertentu tidak menghilangkan batas-batas disiplin/medium seni yang dipilihnya.

Teater Garasi memosisikan teater sebagai media pertemuan pelbagai ilmu pengetahuan. Ketika itu terjadi maka teater mempunyai kekuatan untuk menciptakan laboratory intelektual. Di mana di dalamnya terdapat proses riset dan sikap kritis terhadap semua persoalan yang dihadapi. Sehingga persoalan teater, sosial, politik, budaya, berkelindan menjadi suatu diskursus dalam setiap penciptaan karya-karyanya.

Garasi telah menjelajahi beragam bentuk teater. Mulai dari teater konseptual yang menyandarkan pada teks verbal namun disusun tanpa alur sintagmatik sehingga peristiwa yang terjadi di atas pentas hanyalah potongan-potongan peristiwa yang dirajut oleh ragam tanda. Lalu eksplorasi bentuk teater dengan totalitas gerak. Kemudian dalam repertoar yang lain, perpaduan bentuk teater verbal dan gerak pun pernah dilakukan, sebagai alternatif dari teater ‘realis’ yang mengandalkan perwujudan karakterisasi tokoh.

Kerja kolektif penciptaan Teater Garasi selalu dilandasi oleh kesadaran untuk menghindari kemapanan bentuk. Kesadaran itu menjadi penting untuk membuka katup dari kemungkinan-kemungkinan yang baru. Namun, apapun bentuknya, semuanya selalu berporos pada penggalian multidisiplin ilmu pengetahuan. Sesuai dengan paradigma yang dipegang Yudi Ahmad Tajudin bahwa “seni sebagai alternatif alat baca kenyataan sosial’.

Tulisan Gunawan Maryanto dan Yudi Ahmad Tajudin coba menggambarkan cara berteater Garasi. Ada upaya menempatkan teater pada fungsi sebagai arena “perayaan bersama” dalam pertukaran wacana, narasi, dan bentuk baru. Para kreator yang terlibat: baik penulis naskah, sutradara, koreografer, aktor, penata musik, penata artistik punya andil menciptakan iklim demikian. Persyaratan-persyaratan yang berpotensi mengeliminasi inovasi yang seringkali membatasi kreator harus disingkirkan. Karena ketika teater dikungkung untuk bersikap fleksibel dan inovatif membaca keadaaan, maka tawaran reinterpretasi dan rekonstruksi estetis akan sulit terwujud. Tampaknya kesadaran itulah yang dipegang Teater Garasi untuk memperluas dan memperkuat basis sosial teaternya.

Buku “Bertukar Tangkap Dengan Lepas: Sesilangan & Lintasan 20 Tahun Teater Garasi” bisa menjadi acuan alternatif untuk berefleksi dan merangsang kreativitas, khususnya bagi seniman-seniman teater yang masih bergairah untuk menciptakan suatu pertunjukan extra-ordinary. Bukankah cakrawala ihwal teater mesti diperluas? Definisi stereotipe teater yang telah menjelma konsep-konsep mapan sebaiknya harus segera dicurigai. Kenyamanan dalam posisi yang mapan berpotensi pada capaian estetis yang stagnan dan mereduksi mentalitas untuk mencari kemungkinan yang baru. Tabik!

SENIMAN GAMBANG KROMONG: HIBRIDITAS DALAM MEMPERTAHANKAN SENI TRADISI

IMG_2005

Oleh Sahlan Bahuy

Sabtu, 11 April 2015, saya berkesempatan menyaksikan sebuah kesenian khas betawi Gambang Kromong grup Putra Betawi di sebuah pesta pernikahan putra-putri bapak Iju/ibu Isnayah dan bapak Suryadi/ibu Siti Uriyah Urvani.

Acara berlangsung tidak jauh dari Ibu Kota, tepatnya di kampung Bolang, desa Sukasari, kecamatan Rajeg, Tangerang. Untuk sampai ke lokasi pertunjukan, setelah melewati kepadatan kota, perjalanan harus ditempuh dengan menyusuri jalan yang agak sempit melewati pematang sawah yang masih tersisa.

Daerah itu sedang beranjak jadi ruang urban. Konsep pembentukan kota dengan segala aktivitas pembangunan yang massif tampak nyata. Truk-truk besar hilir mudik di jalan raya.

Setibanya di lokasi, di sebuah lapangan yang terletak beberapa meter dari tempat pernikahan, tampak panggung besar dengan sound system menggelegar. Empat perempuan bermake-up tebal sedang asyik bergoyang sambil menyanyikan lagu karya Benyamin S diiringi instrumen musik Gambang Kromong.

Lagu-lagu karya Benyamin S memang cukup mendominasi, misalnya Sang Bangau, Janda Kembang, dll. Sesekali lagu yang dibawakan isinya bersifat humor, penuh keceriaan, dan kadangkala penyanyi laki-laki dan perempuan berbalas-balasan saling menyindir.

Yang menarik perhatian ialah lagu dari luar kebudayaan dominan Betawi pun turut dinyanyikan, seperti Talak Tilu dan Tanjung Perak. Lagu Talak Tilu merupakan lagu berbahasa sunda yang menceritakan sikap seorang istri ketika diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Sedangkan lagu Tanjung Perak merupakan lagu yang menggambarkan suasana pelabuhan di Surabaya, sebuah tempat yang merangsang orang untuk bersuka cita.

Kedua lagu tersebut jelas tercipta bukan dari kebudayaan Betawi. Lagu pertama ditandai dengan teks lagu berbahasa Sunda sedangkan lagu kedua ditandai oleh konteks spasial dan temporal yang tidak menggambarkan di mana kebudayaan Betawi tumbuh dan berkembang.

IMG_1989

***

Gambang Kromong lahir dari proses akulturasi budaya. Kesenian ini mendapat pengaruh besar dari beberapa budaya, di antaranya Tionghoa dan Sunda. Hal tersebut tampak jelas jika dilihat dari instrumen musiknya, perpaduan gamelan, gong. gendang, kecrek, dan kongahyan (alat musik gesek mirip rebab). Hasil akulturasi budaya ini telah membentuk satu kesenian dan bertahan melintasi beberapa generasi, bahkan telah menjadi bagian ekspresi seni dan identitas betawi.

Namun, pengalaman saat menonton pertunjukan Gambang Kromong tadi, identitas Betawi agak terasa bias, khususnya pada perbendaharaan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (klasik), lagu-lagu sayur atau lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa hampir tidak ada lagi. Bahkan menurut Bang Ambran, pimpinan Gambang Kromong dari Grup Putera Betawi, dalam beberapa kesempatan pentas justru sering menyanyikan lagu-lagu dangdut kontemporer berkolaborasi dengan organ tunggal.

Melihat fenomena itu, bisa dikatakan pertunjukan kesenian tradisi Gambang Kromong yang berlangsung di ruang urban tadi telah menunjukan perubahan. Ruang urban karena sifatnya yang terbuka, menjadi sebuah tempat untuk saling berinteraksi sekaligus bernegosiasi dalam pembentukan identitas yang lama dan baru. Sehingga pembauran dan percampuran atau bisa disebut hibriditas tidak dapat terelakan.

Menurut Ihab Hassan (Dalam Piliang, 2011:242) Hibriditas adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk mutan melalui perkawinan silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.

Proses hibriditas yang dilakukan seniman Gambang Kromong menjadi semacam strategi dalam mempertahankan seni tradisi. Sehingga masyarakat yang kian bersifat heterogen masih bisa menikmati pertunjukan Gambang Kromong.

IMG_2000

Di daerah yang tingkat urbanisasinya sangat tinggi, tidak sedikit seni tradisi mampu hidup, bertahan dan berkembang. Seniman tradisi seringkali direpresi secara massif oleh aneka-ragam agresi; kultural, industri, serta bahaya laten akulturasi, dll. Dalam kondisi tersebut seniman tradisi rentan goyah untuk mempertahankan seni tradisinya. Keterlibatan emosional seniman terhadap seni tradisi seringkali terkikis, hingga akhirnya harus memilih: gugur atau menjadi bagian dari perubahan?

Seni tradisi karena sifatnya yang lentur terhadap perubahan bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi perkembangan zaman. Menurut Pudentia[1] tradisi bukanlah sesuatu yang statis tanpa perubahan dan perkembangan. Tradisi memungkinkan untuk ditransformasi sesuai dengan dinamika sosial masyarakat itu sendiri, baik transformasi isi, bentuk, maupun keduanya dan berganti dengan tradisi yang baru yang dirasakan oleh masyarakatnya lebih cocok dengan situasi,  kondisi, dan minat yang berlaku. Dengan demikian, cara memandang tradisi sangat memengaruhi pengelolaan pemertahanannya sehingga bukan sesuatu yang mustahil jika tradisi bisa menjadi bagian dari masa kini.

Seni tradisi karena sifatnya yang lentur berdampak pada posisi dilematis. Di satu sisi, elastisitas terhadap perubahan mampu membuat seni tradisi bertahan. Namun di sisi lain, bisa memicu persoalan, gesekan antara “otentisitas” dan “hibriditas” berpotensi melepaskan seni tradisi dari teks, konteks dan koteks asali. Seni tradisi yang mulanya bersifat kolektif, mengutamakan nilai-nilai dan kearifan lokal, harus rela terlepas dari intensitas kelokalannya.

Gambang Kromong eksistensinya memang sudah teruji. Terbukti, sampai kini kesenian ini masih hidup dan berlangsung. Keterbukaan menerima ragam kebudayaan dan perkembangan zaman dilakukan untuk strategi mempertahankan seni tradisi.

Gambang Kromong memang masih hidup, tapi ia telah berubah. Perubahan itu cukup banyak dipengaruhi oleh kondisi ruang di mana kesenian itu hidup. Ruang tersebut adalah ruang urban. Ruang yang menjadi arena pertemuan banyak kebudayaan. Dalam ruang itulah agresi budaya luar berlangsung sehingga hibriditas dalam pertunjukan musik Gambang Kromong tidak dapat terhindarkan.

Dalam proses hibriditas yang terjadi pada pertunjukan musik Gambang Kromong, nilai-nilai lokal telah bercampur dengan nilai-nilai dari kebudayaan luar. Percampuran kedua nilai itu “bertarung” membentuk nilai baru. Oleh karenanya, hibriditas telah memicu terciptanya fungsi ganda, melanggengkan seni tradisi sekaligus memengaruhi esensinya –bisa mengafirmasi, mereduksi atau menegasi.

Pertanyaannya, apakah mungkin nilai dan kearifan lokal bisa terus bertahan ditengah massifnya agresi kultural di ruang urban? Alih-alih memperkaya nilai lokalitas, yang terjadi malah sebaliknya. Jika sudah begitu, bukan sesuatu yang mustahil seni tradisi semakin tercerabut dari akar kulturalnya.

 

Referensi:

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari

Pudentia. 2014. MEMAHAMI  TRADISI  LISAN SEBAGAI  POTENSI KELOKALAN  DI  INDONESIA. Bandung: Stadium  General Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

 

[1] Lihat Pudentia dalam makalah “MEMAHAMI  TRADISI  LISAN SEBAGAI  POTENSI KELOKALAN  DI  INDONESIAdi acara STADIUM  GENERAL PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA (STSI) BANDUNG, SENIN, 29 SEPTEMBER 2014.

KAPAI-KAPAI; REPRESENTASI KEMISKINAN MATERIAL, MORAL DAN SPIRITUAL

(APRESIASI PERTUNJUKAN SINDIKAT AKTOR JAKARTA)

oleh Sahlan Bahuy*

Awalnya saya ragu untuk menuntaskan catatan yang sempat tertunda ini. Catatan ini berkaitan dengan pementasan teater yang saya saksikan sebulan yang lalu. Biasanya, catatan yang tidak aktual dianggap tidak memiliki nilai lebih, terutama sebagai sebuah informasi. Namun, seorang teman mengingatkan bahwa teater tidak pernah kadaluarsa. Mendengar itu, saya pun segera menuntaskan catatan ini. Ya, apapun bentuknya, peristiwa teater mesti dikabarkan.

Sabtu (6 Desember 2014), Sindikat Aktor Jakarta (SAJ) mementaskan lakon Kapai-kapai dalam helaran Festival Teater Jakarta (FTJ) 2014 di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pementasan yang disutradarai Joind Bayuwinanda ini berusaha merekontruksi teks ke dalam konteks kekinian.

Kapai-kapai merupakan lakon masterpiece dramawan kenamaan Indonesia, Arifin C. Noer, yang berkisah tentang perjuangan hidup Abu, sosok manusia yang termarginalkan dari realitas kehidupan. Ia terjerembab dalam kubangan kemiskinan baik material, moral maupun spiritual. Satu-satunya yang membuatnya bertahan adalah harapan. Harapan yang seringkali digerakan oleh hasrat meraih kebahagiaan. Hingga akhirnya, ia terombang-ambing pada situasi ambang batas antara realitas yang serba terbatas dan imajinasi tak bertepi.

Untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkannya, Abu senantiasa mencari Cermin Tipu Daya. Cermin yang bisa menepis segala bala. Cermin yang hanya bisa didapatkan di sebuah toko milik Nabi Sulaiman, jauh nun di ujung dunia.

10498133_1574258369455487_4789511985952355576_o

Teks Kapai-kapai

Sejak kemunculannya tahun 1970, naskah ini menawarkan kebaruan terutama dalam aspek struktur dramatiknya. Sarana primer penyampai peristiwa (dialog) tidak secara gamblang memberikan informasi alur, tokoh, dan latar (waktu dan ruang). Alur yang bergerak terasa tidak sintagmatik. Peristiwa berloncat cepat dari satu adegan ke adegan lain. Layaknya kolase yang disusun oleh ragam peristiwa. Realitas dan fantasi tampak bias batasnya sehingga pembaca mendapat ruang lapang untuk berimajinasi. Meskipun begitu, elemen-elemen yang tampak terlepas itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masing-masing adegan diikat oleh tema tunggal yakni kemiskinan yang berekses pada pelbagai permasalahan kehidupan.

Teks drama Kapai-kapai terdiri atas lima bagian, masing-masing bagian menampilkan dinamika kehidupan Abu. Pada bagian pertama, ada tiga peristiwa utama yang dikisahkan: rutinitas Abu menyimak dongeng Emak, rutinitas Abu sebagai buruh yang senantiasa mengabdi pada majikan, dan problematika hidup Abu bersama Iyem, istrinya.

Pada bagian kedua, ada empat peristiwa pokok yang diceritakan: perjalanan Abu mencari ujung dunia, bencana yang menimpa Abu, Emak menghibur Abu dengan dongeng, dan rutinitas Abu sebagai buruh yang mengabdi pada majikan.

Peristiwa perjalanan Abu mencari ujung dunia digambarkan secara metaforis. Abu bertanya ikhwal ujung dunia pada burung, katak, embun, rumput, air, batu, jangkerik, kambing, pohon, hingga akhirnya bertemu dengan tokoh kakek, sosok manusia yang merepresentasikan pemuka metafisis tradisional (agama).

Pada bagian ketiga, semua peristiwa diceritakan secara simbolis. Ada lima peristiwa pokok yang digambarkan. Pertama, rutinitas pekerja-pekerja di sebuah kantor. Abu digambarkan layaknya sebuah mesin yang tidak punya kuasa berkehendak. Kedua, kehidupan Abu yang miskin digambarkan dengan peristiwa pembunuhan bayi-bayinya. Ketiga, perubahan usia Abu digambarkan dengan penyiksaan yang dilakukan Yang Kelam terhadap tubuh Abu dan tubuh Iyem. Adegan itu menggambarkan bahwa tubuh Abu kian beranjak renta. Keempat, Abu terus berjuang mencari cermin tipu daya. Kelima, Abu mendapatkan hak pensiun dari tempatnya bekerja.

Bagian keempat, menceritakan kehidupan Abu yang masih didera kemiskinan. Ia masih berjuang mencari cermin tipu daya yang dipercaya akan membawa kebahagiaan.

Bagian kelima, Abu pada akhirnya menemukan Cermin Tipu Daya yang selama ini dicari dan diidamkannya sebagai sumber kebahagiaan. Namun, waktu Abu mendapatkan Cermin Tipu Daya ternyata adalah waktu di mana Abu menemui ajalnya.

Dari kelima bagian itu, drama ini berpusat pada perkembangan tokoh Abu. Alur digerakan oleh pergulatan konflik batin tokoh Abu. Relasi tokoh Abu dengan tokoh lainnya serta relasi tokoh Abu dengan elemen di sekitarnya menjadi fokus penceritaan.

Kekuatan wacana yang terkandung dalam drama ini masih kontekstual dalam situasi kekinian, ikhwal kemiskinan yang mereduksi eksistensi manusia. Sebuah konsekuensi dari kondisi manusia yang berorientasi radikal pada materialistik. Barangkali hal itu turut melandasi SAJ dalam memilih naskah ini untuk dipentaskan.

10841905_1574258446122146_2170684209427418034_o

Kapai-kapai Versi SAJ

Penyampaian peristiwa yang menerabas bingkai-bingkai pemaknaan klise, memungkinkan drama ini tidak terjebak pada stereotipikal dramatik sehingga mampu menyampaikan sudut pandang yang khas. Semangat itu pula rupanya yang diusung Joind dalam mengkonstruksi pertunjukan Kapai-kapai. Rekonstruksi teks, wacana kontekstual, dan penggunaan material multimedia tampak mendominasi bangunan peristiwa.

Adegan awal dimulai dengan menampilkan ketidak-berdayaan tokoh Abu (Haikal Sanad) terhadap kekuatan yang berada di luar tubuhnya. Dengan tempo yang lambat, Abu tampak menerawang. Perlahan gesturnya menggeliat, menampakkan sosok yang sedang berjuang melepaskan belenggu yang melekat pada tubuhnya. Sesekali ia mengerang dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Kemudian kedua tangannya mencengkram baju lusuhnya dan merobeknya. Namun di balik bajunya, masih terdapat lapis baju yang lain seolah hendak menunjukan bahwa ia tidak punya kuasa melepaskan belenggu di tubuhnya. Adegan itu mengimpresikan tubuh orang yang kalah, lemah dan gelisah.

Dalam keadaan putus asa, Abu mendengar suara memanggil-manggil namanya. Hingga akhirnya Abu menyadari bahwa suara dan sesosok manusia asing muncul di layar besar menyerupai televisi. Manusia asing itu bernama Om Super (Joind Bayuwinanda). Rupanya tokoh itu merupakan rekonstruksi tokoh Emak yang ada di dalam naskah.

Rekonstruksi tokoh Emak si pendongeng ini terbilang cukup berani. Emak yang seringkali ditafsirkan harfiah sebagai perempuan tua direkonstruksi menjadi sesosok laki-laki paruh baya berjiwa muda bernama Om Super. Perubahan ini bukan tanpa alasan, Joind seolah ingin menegaskan bahwa dongeng, mitos, sejarah itu milik laki-laki. Dalam beberapa adegan ada upaya menampilkan Om Super sebagai sosok androgini dengan ornamen pakaian hibryd khas perempuan dan laki-laki. Namun, usaha menampilkan kategorisasi kultural ini rupanya masih berpangkal pada pemisahan fisiologis jenis kelamin belum mengeksplorasi secara mendalam ikhwal kontruksi sosial yang memengaruhi nilai-nilai pada tokohnya.

Kehadiran televisi sebagai media penyampai dongeng menjadi wacana penting yang hendak diangkat dalam pertunjukan SAJ ini. Joind sebagai sutradara tampak berupaya merespons realitas kekinian di mana televisi telah menjadi metafora dari pusat kuasa narasi dunia. Televisi telah menjelma pendongeng handal mitos-mitos modernitas.

Mitos tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masa lampau. Kehidupan masyarakat modern pun tidak terlepas dari mitos-mitos baru. Menurut Barthes (dalam Simatupang, 2013: 117), segala bentuk pemutarbalikan hal-hal yang bersifat kultural, sosial, historis, dan ideologis menjadi suatu kebenaran umum, natural, yang niscaya sudah semestinya adalah mitos. Lebih lanjut Barthes menjelaskan (2013:152) bahwa mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri: memang, mitos memiliki batas-batas normal, namun semua itu tidak begitu ‘substansial’.

Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menyaksikan pelbagai mitos baru menyerbu lewat televisi: “mitos iklan” yang menawarkan kebutuhan ideal, “mitos sinetron” yang menampilkan angan-angan gaya hidup, “mitos agama” yang mengumbar surga sekaligus menjadikannya sarana untuk populis dan meraup keuntungan, “mitos berita” yang sering mempublikasi politisi sebagai strategi pencitraan dirinya, dan mitos-mitos lainnya. Semua mitos itu memainkan peranan penting dalam mengkontruksi kehidupan manusia.

Televisi bukan lagi layar yang memantulkan narasi melainkan manusia sendiri yang menjadi layar dari pantulan narasi televisi. Dengan kata lain, narasi televisi telah melesap pada tubuh dan pikiran manusia. Itu pula yang dialami tokoh Abu. Secara verbal beberapa adegan diperlihatkan dengan masuknya bagian tubuh Abu (kepala) ke dalam Televisi. Massifnya mitos yang disuguhkan televisi membuat Abu tidak berdaya.

10620505_1574258472788810_7751817429802704495_o

Abu; Kemiskinan Material, Moral dan Spiritual

Wacana televisi yang diangkat dalam pertunjukan SAJ ini tampak menjadi misi dominan yang ingin disampaikan. Sebuah misi yang bermaksud menginterupsi atau mengkritisi isu-isu kontemporer seperti globalisasi, modernitas, kapitalisme, teknologi serta sistem informasi. Semua isu itu bertumpuk membentuk wacana besar yang kemudian membebani elemen pertunjukan.

Namun, wacana besar yang diusung itu belum menciptakan sebuah bangunan pikiran yang utuh. Televisi bisa menjadi pilihan estetik yang cerdik jika rajutan wacana, peristiwa dan antar tokohnya tidak saling terpisah. Tokoh Abu sebagai tokoh utama tidak diberikan kesempatan menyampaikan wacana melalui persoalan hidupnya yakni kemiskinan dalam segala aspek yang menjeratnya.

Kritik isu-isu kontemporer bisa mencapai kulminasi sublimitasnya jika kemiskinan Abu di-”eksploitasi” secara maksimal. Realitas kemiskinan yang ditampilkan tidak sekedar kemiskinan yang bersifat material melainkan juga kemiskinan moralitas dan spiritual.

Misalnya, adegan pembunuhan bayi yang dilakukan Abu dan Iyem mestinya diposisikan menjadi peristiwa penting. Peristiwa tragis ini menampilkan sesuatu yang ironis, memperpanjang nafas kehidupan dengan cara merampas kehidupan. Kemiskinan material mampu mengikis nilai-nilai moralitas. Ketidakmampuan Abu mencukupi keluarganya menyebabkan ia harus membunuh bayinya.

Peristiwa itu merefleksikan krisis sosial yang diakibatkan oleh sistem ekonomi yang kian berkembang ke arah destruktif. Sebuah sistem yang berpihak pada kekuatan modal dengan tujuan menciptakan kemaslahatan orang banyak ternyata hanya menguntungkan segelintir orang. Sistem yang hanya menyisakan ambisi dan hasrat kekuasaan. Sistem yang justru telah membentangkan jarak dengan manusianya. Sistem yang hanya menciptakan arena untuk saling mendominasi dan menguasai antar sesama. Implikasinya: nilai, moral, sosial, bahkan eksistensi manusia semakin tereduksi.

Gambaran lain yang bisa menguatkan kritik atas isu-isu kontemporer terdapat pada adegan ketika Abu memasrahkan dirinya untuk mengabdi pada majikannya. Peristiwa ini menyiratkan bahwa materialistik telah menjadi orientasi radikal manusia tanpa acuh pada nilai-nilai kemanusiaan. Namun, bangunan peristiwa ini hanya menghadirkan transaksi dialog semata tidak dikuatkan dengan peristiwa simbolik.

Bagaimana pun, lontaran dialog mempunyai keterbatasan menghantarkan imaji peristiwa. Diperlukan eksplorasi spectacle ketubuhan untuk menghantarkan imaji yang lebih luas; imaji ikhwal tokoh Abu yang dipaksa jadi “mesin”, “sekrup”, atau “materi” yang tidak berhak memiliki perasaan serta pikiran; imaji tubuh seorang buruh yang tidak punya hak untuk berkehendak juga kuasa untuk berontak, melainkan harus tunduk dan patuh pada atasan.

Seperti kita ketahui, dalam masyarakat maju kekayaan materi menentukan hierarki kekuasaan. Prinsip hierarki dan diferensiasi masyarakat diukur oleh akumulasi materi yang dimiliki. Ketika manusia tidak memiliki materi maka tempatnya berada di posisi paling bawah. Lazimnya, pada posisi itulah manusia rentan menjadi objek dominasi kekuasaan.

Di tengah penderitaan hidupnya, tokoh Abu mendapatkan kenyamanan saat disuguhi dongeng-dongeng Om Super. Dongeng yang mengisahkan pangeran rupawan yang kaya raya dan bahagia. Dongeng itulah yang menjerumuskan dirinya pada hasrat kebahagiaan yang tak kunjung terpuaskan.

Akhirnya, perjuangan Abu untuk mengubah hidupnya dicapai dengan jalan irasional. Tanpa letih ia mencari cermin tipu daya yang dipercaya dapat menggapai kebahagiaan abadi. Abu seolah-olah menyadari bahwa rutinitas kerja yang dijalani tidak menghasilkan apa-apa. Rutinitas pengabdian pada majikannya merupakan aktivitas sia-sia yang menjauhkan dirinya dari kebebasan.

Lewat dongeng Om Super, Abu semakin terbuai mencari Cermin Tipu Daya. Ia mulai memecahkan teka-teki bahwa cermin itu bisa didapatkan di toko Sulaiman, nun jauh di ujung dunia. Dalam pencariannya, Abu pun bertemu dengan tokoh Ustadz (Rekonstruksi tokoh Kakek) yang mewakili penyebar metafisis tradisional.

10710469_1574258412788816_1310901454000306651_o

Pertemuan Abu dengan Ustadz barangkali menjadi adegan paling menghibur selama pertunjukan ini. Tokoh Ustadz dikonstruksi menyerupai ustadz yang populis di televisi dengan ungkapan khasnya “Jamaaaah!”. Bangunan peristiwa parodi ini menampilkan kritik tajam pada para pemuka agama yang gemar mengodifikasi surga menjadi komoditas untuk meraup keuntungan pribadi serta menjadikan panji-panji agama sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan.

Selain kritik agama, adegan itu menegaskan kompleksitas kemiskinan tokoh Abu. Tidak hanya miskin material dan moral, Abu juga miskin spiritual. Abu tidak memahami Tuhan, surga dan neraka. Adegan tersebut juga hendak mengkritisi realitas perilaku masyarakat, khususnya berkaitan dengan aspek ketuhanan atau keberagamaan. Keberagamaan masih sekedar di tataran formalitas. Tidak dihayati sebagai cara untuk berserah diri total kepada Tuhan, melainkan sering dihayati pada konteks tertentu, misalnya dilakukan dengan maksud meraih kedudukan, kekayaan, dan hal-hal yang bersifat duniawi.

Terlepas dari beban wacana besar yang dipikul pertunjukan ini, Sindikat Aktor Jakarta telah berupaya menampilkan kehidupan tragis masyarakat marjinal yang direpresentasikan oleh tokoh Abu, manusia tak berdaya di tengah realitas sosial.

Meskipun Cermin Tipu Daya yang dipercaya dapat memberikan kebahagiaan berhasil diraih oleh Abu, namun ternyata pada saat itulah ia harus menemui ajalnya. Kompleksitas kemisikinan yang mendera tokoh Abu membuatnya gagap dalam menyikapi kehidupan, membuatnya semakin terjerembab pada kemalangan. Kemiskinan materi membuat moralitasnya terkikis serta eksistensinya tercerabut dan menjadikannya objek dominasi. Sedangkan kemiskinan spiritual menjebaknya pada persepsi kebahagiaan yang instan dan profan.

* Aktor dan sutradara teater

Tulisan ini dipublish juga di http://www.buruan.co

Sumber foto: Dyan S Indriyani

Referensi

Barthes, Roland. 2013. Mitologi. Bantul: Kreasi Wacana.

Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

APRESIASI TELISIK TARI BETAWI (Tantangan Proses Penciptaan Tari Berbasis Tradisi)

Catatan Sahlan Bahuy*

Pada tanggal 9 Desember 2014, Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Telisik Tari DKJ: Tari Betawi “Topeng dan Cokek”. Acara yang digelar di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta ini menampilkan beberapa pertunjukan tari hasil revitalisasi tari tradisi khas Betawi. Setidaknya ada tiga tarian utama yang disuguhkan: tari Sipatmo , tari Topeng Tiga dan tari Kembang Lambang Sari. Selain ketiga tari itu, ada juga tarian Sipatmo yang telah dikembangkan oleh Entong Kisam.

Tarian pertama dibuka oleh tarian Sipatmo versi asli. Ada empat ragam gerak tari sipatmo yang penting, yaitu gerak soja di dada, gerak soja berhadap-hadapan, gerak mengayuh perahu, dan gerak-gerak selanjutnya merupakan stilisasi gerakan menunjuk. Masing-masing gerakan mengandung pesan moral dalam mengarungi kehidupan.

Tari Sipatmo awalnya hadir dalam rangkaian upacara adat di Klenteng atau Wihara. Tarian ini mengalami transformasi pada ke-19 menjadi tari Cokek setelah seorang tuan tanah keturunan Tionghoa mulai sering menanggap tarian ini untuk memeriahkan pestanya.

Tarian kedua yang ditampilkan adalah Tari Sipatmo versi Entong Kisam menceritakan kehidupan seorang gadis keturunan Tionghoa yang mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya untuk menemukan jati dirinya dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Tarian ketiga giliran tari Topeng Tiga yang beraksi. Sesuai namanya. tarian ini dilakukan oleh seorang penari yang berturut-turut mengenakan tiga buah topeng: topeng putih, topeng merah jambu, dan topeng berwarna merah. Tiga topeng ini merepresentasikan tiga watak yang berbeda.

Sebelum adanya larangan ngamen di Jakarta, tarian ini biasa dipertunjukkan berkeliling dari rumah ke rumah. Sedangkan menurut tradisinya, tarian ini adalah bagian dari pergelaran sandiwara rakyat yang hidup dan berkembang di wilayah budaya Betawi pinggiran.

Tarian terakhir yang tampil adalah tari Kembang Lambang Sari. Tarian ini merupakan sebuah karya Wiwiek Widiastuti yang diilhami dari bentuk cerita “Bapak Jantuk” pada kesenian Topeng Betawi. Tarian ini menggambarkan Bapak Jantuk sebagai sosok yang riang. Ceritanya mengungkapkan perasaan senang dan kegembiraan Bapak Jantuk mengasuh anaknya. Kegembiraan Bapak Jantuk diungkapkan dengan bernyanyi, berbalas pantun dan juga menari. Rangkaian ungkapan inilah yang ditransformasikan ke dalam tatanan gerak tari Kembang Lambang Sari.

Rangkaian acara Telisik Tari Betawi ini bermaksud mengenalkan karya-karya tari tradisi Betawi mulai dari yang asli sampai perkembangannya menjadi tari kreasi. Selain pergelaran tari, acara ini juga dilengkapi dengan forum seminar dan masterclass untuk menyingkap lebih jauh sejarah perkembangan kedua tari tersebut. Acara tersebut digelar tanggal 8 Desember 2014 di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta.

Tantangan Proses Penciptaan Tari Berbasis Tradisi

Telisik Tari Betawi telah memberikan gambaran ikhwal penciptaan karya seni khususnya seni yang berbasis pada tradisi. Seni tradisi ternyata bukanlah sesuatu yang bersifat konstan, statis dan tidak berubah. Seni tradisi sangat terbuka mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman yang memengaruhinya. Tari Cokek, tari Topeng Tiga, tari Kembang Lambang Sari telah memperlihatkan bagaimana sebuah ekspresi seni yang dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan, perjalanan sejarah, perpaduan kultural dan perubahan realitas sosial.

Proses penciptaan karya seni -apapun bentuknya- merupakan sebentuk aktivitas yang senantiasa mengandalkan pengolahan perasaan dan pikiran. Dalam setiap proses penciptaan pengalaman berharga seringkali didapatkan, cakrawala baru tentang dunia acapkali berhasil disingkap. Karya seni tidak sekedar merangsang kepekaan inderawi tetapi di dalamnya terkandung pengetahuan melimpah yang perlu digali. Oleh sebab itu, dalam setiap proses penciptaan karya seni mesti terjadi dialektika antara horizon dunia individu dengan realitas lain, sehingga memungkinkan pengalaman individu semakin luas dan berkontribusi dalam menciptakan suatu pandangan yang baru.

Barangkali pandangan di atas juga berlaku dalam proses revitalisasi atau rekonstruksi seni tradisi. Proses dialektis antara realitas, pengalaman dan strategi pengungkapan ekspresi tidak bisa dibatasi. Dalam konteks seni tari yang berbasis tradisi, proses perkembangannya jangan sampai terjebak pada kreasi tari yang memusatkan pada teks semata (teknik dan bentuk gerak) tanpa mampu mengkoreografi konteksnya. Kreasi tari yang hanya terfokus pada penciptaan gerak dan irama beresiko mereduksi imaji-imaji peristiwa, memiskinkan cara pengungkapan gagasan (klise) serta mendangkalkan pemaknaan gerak itu sendiri. Sehingga tubuh-tubuh yang bergerak berpotensi kehilangan sublimitas karena momen konteksnya tidak terbangun. Lalu akhirnya, ruang-ruang pemaknaan sulit diproduksi oleh penontonnya melainkan hanya tertinggal di buku acara. Penonton bisa terjerembab pada situasi sulit dalam menemukan peristiwa maupun momen pembacaan.

Dari empat tari tradisi yang ditampilkan, ada kecenderungan gerak tubuh dikoreografi oleh musik. Irama, repetisi, dan tempo dalam musik menjadi model instruksi gerak. Model kerja seperti ini cenderung menciptakan tari yang mekanik. Penari tampak menjadi robot yang diinstruksi ritme ketukan. Imbasnya, penari kehilangan ruang dalam membangun momen peristiwa, karakter, serta imaji ruang dan waktu karena tubuh penari diperlakukan sebagai tubuh teknik. Gerak tari seperti disusun secara mekanik guna memenuhi struktur dan durasi. Jika musik mampu membingkai kerja tari tradisi berarti tidak menutup kemungkinan tari tradisi bisa dibingkai oleh unsur lain, misalnya: puisi, senirupa, dan berbagai disiplin lainnya.

Tantangan dunia tari berbasis tradisi kini harus memiliki strategi pembacaan lain terhadap sejarah, kultural dan realitas sosial. Perkembangannya tidak sekedar mengganti properti, artistik, kostum, pola lantai, dan komposisi gerak yang tidak memiliki hubungannya dengan teks maupun konteks dari tari tradisi itu sendiri.

Proses pengembangan tari berbasis tradisi mesti terbuka pada realitas lain. Tubuh-tubuh tari tidak melulu diposisikan sebagai tubuh teknik melainkan tubuh-tubuh yang peka membaca kembali tari sebagai medium komunikasi antara tubuh dengan ragam bidang-bidang studi. Bukankah dalam proses yang demikian seni tradisi sedang mengaktualisasikan dirinya?

Sebuah pertunjukan tari berbasis tradisi sangat berpotensi menghasilkan wacana yang tidak usang meskipun sikap dan orientasinya tertuju pada masa lampau. Hal tersebut bisa tercapai jika setiap batas antara tari dengan bukan tari mampu dibaca sebagai ruang eksplorasi dalam mengembangkan konsep-konsep kerja koreografi. Dalam setiap proses kreatifnya perlu diutamakan prinsip-prinsip intelektualitas tanpa batas.

Demikianlah, sebuah kerja rekonstruksi tari tradisi bisa menjadi ruang didaktis dan dialektis dengan pelbagai ilmu pengetahuan. Ketika kerja seperti ini berlangsung maka rekonstruksi tari tradisi tidak sekedar ritual pewarisan lintas generasi yang sifatnya formalistik tetapi juga mempunyai kekuatan untuk menciptakan laboratory intelektual, di mana di dalamnya terdapat proses riset dan sikap kritis terhadap realitas yang terjadi.

*Aktor dan sutradara teater